Oleh: Drs Suprayitno | September 24, 2009

BAB III BUKU BABAD TULUNGAGUNG


BAB III

TINJAUAN MENGENAI DAERAH TULUNGAGUNG

PADA ZAMAN HINDU – BUDHA DI INDONESIA

Seperti yang sudah kita sebutkan pada Bab yang lain, tinjauan kita mengenai sejarah daerah ini akan kita dasarkan penjamanan (periodisasi) yang umum didalam sejarah Indonesia. Juga seperti pada Bab yang lalu kita tidak akan dapat mengetahui banyak tentang hubungan sejarah Indonesia dengan daerah yang akan kita cari ketergantungan ini. Hubungan itu mesti ada hanya bukti-bukti yang sampai ketangan kita dewasa ini memang sangat kurang bahkan boleh dikata tidak ada. Apa lagi pada awal masuknya agama Hindu dan Budha ke Indonesia, tidak banyak kita ketahui sejarah daerah-daerah Indonesia pada umumnya, kecuali daerah-daerah tertentu seperti Kutai, Palembang- Jambi, Jawa Barat dan sebagainya.

Meskipun sejarah daerah Tulungagung pada awal kedatangan agama-agama tersebut sampai kira-kira abad ke IV tidak banyak kita ketahui, namun pada pasal 2 (S) berikut akan kami kemukakan pula garis besar perkembangan sejarah zaman Hindu – Budha di Indonesia, khususnya sejarah di Jawa Tengah, karena saat-saat itulah merupakan saat terjadinya dasar-dasar kehidupan yang berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya.

S.1 Zaman Hindu – Budha Sejak Abad ke IV sampai dengan abad ke VIII

Di dalam sejarah Indonesia biasa dikatakan bahwa mulai adanya pengaruh Hindu – Budha di Indonesia kira-kira sejak abad ke IV Masehi. Hal ini didasarkan atas penemuan-penemuan dari peninggalan kerajaan kuno yang sudah menunjukkan sifat-sifat kehidupan. Diantara kerajaan-kerajaan kuno itu ialah yang terdapat di Kutai (Kalimantan Timur) kira-kira abad ke IV Masehi, Tarumanegara (Jawa Barat) kira-kira abad ke V Masehi, Melayu-Tulang-Bawang (di Sumatra – Selatan) kira-kira abad ke VII, Kanjuruhan (Malang Utara) kira-kira abad VII.

Disebut-sebut pula nama kerajaan kuno lain, yaitu Kalingga, tetapi dimana tempatnya, sampai kini para sarjana belum ada kesatuan pendapat.

Peninggalan-peninggalan dari kerajaan di atas berupa prasasti-prasasti bertulis yang jumlahnya masih sedikit sekali. Untuk mengetahui sejarahnya kadang-kadang dipakai pula sumber-sumber yang berupa berita-berita dari negeri lain umpamanya dari negeri Cina, Arab, Yunani, dsb. Karena sedikitnya bahan-bahan tertulis sebagai sumber sejarah kerajaan-kerajaan tersebut maka kerajaan-kerajaan itu digolongkan ke dalam kerajaan-kerajaan yang hidup pada zaman Proto-Sejarah (Mula-Sejarah- atau Ambang Sejarah).

Yang penting kita ketahui dalam hubungan ini, bahwa kerajaan-kerajaan di atas betul-betul sudah menunjukkan sifat kehinduan, baik agama, kebudayaan maupun sistem pemerintahannya. Kalau kita perhatikan kerajaan-kerajaan di atas, ternyata kerajaan yang terhitung tua adalah kerajaan-kerajaan di Kutai yang hidup kira-kira abad ke IV M.

Apakah benar kerajaan tersebut merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia? Kita memang tidak dapat menyatakan secara positif. Orang sampai sekarang mengakui kerajaan tersebut sebagai kerajaan Hindu yang tertua di Indonesia, tidak lain hanya berdasarkan bukti-bukti peninggalan, yang sampai sekarang memang peninggalan-peninggalan di Kutai itulah yang merupakan peninggalan-peninggalan yang paling tua. Jadi pernyataan yang menyatakan bahwa faham Hindu masuk ke Indonesia pada ± abad IV itu hanya merupakan petunjuk bahwa benar-benar pada abad tersebut di Indonesia sudah ada pengaruh Hindu.

Kenyataannya, sejak awal abad Masehi bangsa Indonesia sudah dikenal oleh orang-orang Yunani dalam hubungan perdagangan.[1] Dalam hal ini dapat kita simpulkan bahwa diantara daerah-daerah di Indonesia ini sudah ikut meramaikan perdagangan internasional pada masa itu, walaupun sifatnya hanya sebagai daerah yang menjual barang-barang hasil bumi kepada orang-orang asing yang datang ke tempat ini.

Kegiatan perdagangan di wilayah Timur (Asia) dewasa itu terutama terjadi oleh adanya kegiatan perdagangan negara-negara besar seperti India dan negeri Cina. Dan mengingat letak Indonesia yang strategis (tampan) dalam hubungan lalu lintas kedua negara itu, maka jelas bahwa daerah ini merupakan daerah persinggahan yang penting. Bahkan lebih dari itu melihat kenyataan bahwa negeri ini merupakan negeri yang subur, yang dapat menjadikan bahan-bahan dagangan internasional, seperti rempah-rempah, beras, hasil-hasil hutan dan sebagainya, dengan tegas kita dapat mengatakan bahwa negeri ini merupakan “dasar” tempat bertemunya pedagang-pedagang dari luar negeri. Karena itu kalau kita perhatikan betul-betul, kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia dari zaman ini kesemuanya terdapat di daerah-daerah di tepi pantai, atau di daerah pedalaman yang dapat ditempuh melalui sungai-sungai besar Tarumanegara melalui sungai Citarum, Kutai melalui sungai Mahakam, Kanjuruhan melalui sungai Brantas dan sebagainya.

Kegiatan perdagangan dewasa itu tidak hanya melulu berdagang saja, tetapi disertai pula dengan kegiatan keagamaan. Di samping berdagang, pelajar-pelajar juga mengutamakan berziarah ke pusat-pusat keagamaan, yaitu India. Dan karena itu Indonesia yang merupakan tempat pertemuan pedagang-pedagang asing itu, wajar pula menjadi tempat bertukar fikiran mengenai soal-soal agama. Tidak mengherankan kalau Sriwijaya, sebagai negara laut terbesar di Asia Tenggara antara abad ke VI s.d. abad ke VIII, pernah menjadi pusat kebudayaan agama Budha yang terbesar di Asia Tenggara.

Hal ini jelas dari pernyataan seseorang musafir yang bernama Itsing, yang menyarankan kepada jama’ah-jama’ah dari negerinya yang akan berkunjung ke India, sebaiknya singgah dahulu di Sriwijaya untuk belajar aturan-aturan bangsa Sanskerta dan Agama, karena hal-hal tersebut di tempat ini lebih mudah dipelajari.[2]

Kembali kepada soal kedatangan faham Hindu di Indonesia, kita berkesimpulan bahwa sebelum agama itu tampak memberi sifat kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, tentu sudah tersebar lebih dahulu, sehingga umum mengetahui nilai-nilai baiknya dan kemudian tegas-tegas penguasa / raja memeluknya. Dan dalam hal ini selanjutnya segala mengenai kekuasannya didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan menurut agama Hindu.

Siapakah penyebar-penyebar agama Hindu di Indonesia ini ? Pendapat lama menyatakan bahwa penyebar Hinduisme di Indonesia ini adalah orang-orang India, baik mereka itu golongan Brahmana, Kasatria, Waisya ataupun Sudra.[3] Tetapi pendapat baru yang dikemukakan oleh Prof. Dr. J. G. De Casparies, yang menyatakan bahwa penyebar-penyebar faham Hindu di Indonesia adalah Bangsa Indonesia sendiri. Karena kegiatannya dibidang perdagangan, mereka banyak mengenal kebiasaan-kebiasaan asing, akhirnya tertarik akan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Bahkan kemudian pihak penguasa (Kepala Suku / Raja) mampu mengirimkan pemula-pemulanya belajar keluar negeri (India) untuk memperdalam kebiasaan / agama yang dipandang baik itu.

Dan ketika kembali ke tanah air, mereka ditugaskan menyebarluaskan kebiasaan / agama yang telah dipelajari itu.

Bukti-bukti yang memperkuat pendapat ini ialah adanya kenyataan peninggalan-peninggalan dari zaman itu lebih banyak yang menunjukkan sifat-sifat ke Indonesianya. Sebagai contohnya, relief-reliefnya (gambar timbul) pada candi-candi, bentuk bangunan, patung perwujudan raja-raja yang telah meninggal, semuanya menunjukkan ciri-ciri khas ke Indonesiannya. Bahkan mengenai faham kasta di Indonesia, menunjukkan perbedaan-perbedaan yang jauh dibanding dengan di India. Di India faham kasta diartikan penggolongan masyarakat menjadi 4 golongan, yaitu golongan : Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Disamping itu faham kasta diartikan sebagai perbedaan dalam pergaulan sosial dari masing-masing golongan.[4]

Di Indonesia faham kasta hanya diartikan sebagai nama-nama golongan di dalam masyarakat, sedang dalam pergaulan sosial mereka tidak dibeda-bedakan. Hal ini jelas bila kita pelajari mengenai riwayat Gajah Mada dan Ken Arok. Kedua tokoh ini adalah manusia keturunan rakyat biasa, tetapi manusia yang hidupnya ditentukan oleh sejarah, mereka dapat jadi tokoh penting pada suatu negara. Ini berarti seorang Sudra dapat menduduki tempat-tempat tertinggi dibidang pemerintahan yang biasa diduduki oleh golongan kesatria. Dan ternyata selama mereka menduduki jabatan-jabatan tersebut tidak pernah ada seorang yang berusaha menjatuhkannya atas dasar kekastaanya. [5]

Sejarah kerajaan Hindu-Budha yang sudah tidak lagi digolongkan ke dalam zaman Proto-sejarah, antara lain kerajaan Sriwijaya (kerajaan Budha) ± abad ke VII s/d abad XIII. Dipulau Jawa yaitu kerajaan Mataram Kuno (kerajaan Hindu-Siwa) mulai tumbuh ± abad ke VIII.

S.2. Zaman Hindu-Budha abad VIII sampai abad X

Selama masa ini kerajaan Hindu-Budha yang terkenal di Jawa hanyalah terdapat di Jawa Tengah, yaitu kerajaan Mdang atau Mataram Kuno (lengkapnya : Mdang i bhumi Mataram ri Poh Pitu).

Prasasti tertua yang menunjukkan adanya kerajaan ini adalah prasasti Canggal (daerah Kedu) yang berangka tahun dalam bentuk candra sangkala.[6] berbunyi : Srutindria rasa (tahun 654 Saka = tahun 732 M). Sebab itu kerajaan ini dianggap mulai tumbuh sekitar abad ke VIII.

Kerajaan ini mula-mula diperintah oleh Raja Sanjaya dan kemungkinan karena jasa-jasa Sanjaya mendirikan kerajaan Mdang ini, maka keturunan-keturunannya tidak melupakannya. Mereka mengakui Sanjaya sebagai cikal bakalnya raja-raja yang memerintah masa-masa berikutnya.

Masa pemerintahan keluarga Sanjaya (Dinasti Sanjaya) di Mdang ini baru berakhir kira-kira awal abad ke X, yaitu bersamaan dengan pindahnya pusat kekuasaan Mdang ke Jawa Timur.

Kerajaan yang dipimpin dinasti Sanjaya jelas menunjukkan sifat-sifat kehinduannya. Hasil-hasil kebudayaan yang berupa candi-candi merupakan bukti-bukti jelas. Kebanyakan candi-candi peninggalan dinasti Sanjaya ini terdapat didaerah Jawa Tengah bagian utara dan kesemuanya merupakan candi Hindu-Siwa. Candi-candi yang terdapat di Jawa Tengah bagian selatan kebanyakan bersifat Budha. Karena sejak tahun 778 s.d. tahun 856, di Jawa Tengah berkuasa dinasti lain, yaitu : dinasti Syailendra, yang semua raja-rajanya menganut agama Budha Mahayana.

Dalam masa ini dinasti Sanjaya rupa-rupanya tersisihkan dan mengakui kekuasaan tertinggi dari dinasti Syailendra.

Masa pemerintahan dinasti Syailendra tidak lama, tetapi menunjukkan masa-masa yang gemilang. Candi besar seperti Borobudur, Sewu, Mendut, dan sebagiannya Adalah candi Budha dari masa ini. Ketika kira-kira tahun 856 kekuasaan dinasti Syailendra agak lemah, maka keturunan Sanjaya berusaha merebut kekuasaan tertinggi lagi, dan berhasil dapat memerintah kembali. Untuk menunjukkan bahwa dinasti Sanjaya mampu juga mendirikan bangunan-bangunan besar seperti Borobudur, Sewu, dan sebagainya, maka didirikan oleh dinasti Sanjaya ini candi Hindu terbesar dikompleks candi Budha di daerah selatan tadi, yaitu Candi Prambanan.

Dinasti Sanjaya yang terakhir memerintah Mdang di Jawa Tengah adalah Rakai Wawa. Pada masa ini mulai diadakan kegiatan-kegiatan di Jawa Timur, baik politik maupun sosial-ekonomi. Pembantu utama Rakai Wawa adalah Mahamantinya, yaitu Mpu Sindok. Dan ketika Wawa meninggal, dialah yang menggantikannya sebagai raja Mdang. Pada saat pemerintahan Sindok ini pusat kerajaan Mdang dipindahkan ke Jawa Timur.

Demikian secara singkat perkembangan kekuasaan di Jawa Tengah. Apakah peranan dinasti-dinasti tersebut didalam perkembangan sejarah Jawa Tengah ? Dibawah ini sekedar kita adakan tinjauan.

Dengan berkuasanya dinasti Sanjaya, agama dan kebudayaan Hindu tersebar luas di daerah Jawa Tengah. Sedangkan agama dan kebudayan Budha, dinasti Syailendralah penyebar-penyebarnya.

Penyebaran kedua faham di atas besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan-perubahan struktur sosial, alam, fikiran, politik, ataupun kebudayaan di Jawa Tengah. Dan perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini menjadi dasar kehidupan sosial, alam, fikiran, politik dan kebudayaan masa-masa selanjutnya, tidak hanya di Jawa Tengah saja, bahkan di Jawa Timur dan Bali.

Sebelum Hindu-Budha berpengaruh, sendi masyarakat lama adalah perbedaan umur, yaitu hanya ada golongan tua dan golongan muda. [7] Yang muda patuh, tunduk dan hormat kepala yang tua, karena yang tua lebih berpengalaman, ahli dalam adat, tahu segala-segalanya. Seorang pemimpin (Kepala Suku / Ketua Adat) tentu dipilih orang-orang yang memenuhi syarat-syarat umur, kecakapan, keberanian, tahu adat kebiasaan. Orang tua adalah pusat penghormatan. Sebab itu roh-roh nenek moyang mendapat penghormatan lebih dari yang lain-lain, karena merekalah yang paling tua.

Datangnya pengaruh Hindu-Budha membawa perubahan sikap mental pemimpin-pemimpin. Merekalah berusaha menyesuaikan dengan adat-kebiasaan baru itu, sehingga sebagai pemimpin, mereka tidak hanya merasa sebagai orang tua yang tahu adapt, berpengalaman, yang di percaya rakyat dan sebagainya. Tetapi kini mereka benar-benar merasa sebagai orang yang berkuasa. Sebagai penjelmaan Dewa yang memerintah di dunia, sebagai raja. Jika mereka sudah lanjut usianya, sebelum meninggal telah menunjuk dahulu calon penggantinya (turun-temurun).

Untuk memperkuat kedudukannya sebagai penguasa, raja memberi peranan penting kepada ulama/pendeta.[8] Yaitu dibebani tugas menimbulkan kepercayaan rakyat bahwa raja adalah titisan Dewa. Cara yang dipakai dengan mengadakan upacara-upacara keagamaan dan akhirnya pemberian “Abisekanama (nama nobat”) kepada raja.

Jadi jelas bahwa pendeta adalah sumber kekuatan raja, sebab itu mereka mendapat tempat tersendiri di keraton dan memperoleh perlakuan yang memuaskan.

Rakyat yang telah mengakui raja sebagai penjelmaan Dewa, harus patuh akan perintahnya, dan harus rela mempersembahkan segala sesuatu untuk raja. Dengan demikian rakyat akan memperoleh berkah raja atau Dewa.

Bila seorang raja meninggal, diapun masih harus di hormati seperti halnya roh nenek-moyang dahulu. Karena raja meninggal berarti kembali menjadi “batara”, yaitu bersatu kembali dengan dewanya semula. Dan agar rakyat tetap dapat memujanya, abu jenazahnya dicandikan (cinandi = dihormati) disertai dengan patung perwujudan yang sesuai dengan dewa yang menitis kepada raja itu. Kebutuhan raja makin lama makin meningkat, sehingga membutuhkan pembantu-pembantu atau punggawa-punggawa disekitar istana. Di daerah-daerah pembantu-pembantu itu cukup kepala-kepala daerah / desa, dan tugasnya menampung pesembahan rakyat kepada raja (upeti). Pembantu-pembantu di daerah-daerah / desa-desa ini sebenarnya masih merupakan pemimpin-pemimpin rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri.

Baru kemudian ditunjuk oleh raja pembantu-pembantu yang menguasai daerah yang agak luar, yaitu yang disebut Bupati (bhumi = daerah; pati = penguasa).

Dari uraian-uraian di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan, bahwa adanya pengaruh Hindu-Budha menyebabkan ;

a. timbulnya golongan masyarakat “istana” dan “kawula”

b. golongan istana benar-benar menjalankan adat kebisaan baru, sedang golongan kawula masih tetap mempertahankan adat lama.

c. Timbulnya susunan pemerintahan yang lebih teratur, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

d. Doktrin (ajaran) raja sebagai titisan Dewa, mengharuskan rakyat patuh akan perintah-perintah raja, dan ini menjadi dasar tertibnya pemerintahan.

e. Pertanian makin maju, karena kehidupan raja harus dijamin oleh rakyat dalam bentuk upeti.

f. Kebudayaan berkembang sesuai dengan keagamaan juga berlaku.

S.3. Abad ke X s.d. akhir Mojopahit

Berakhirnya kerajaan Mdang di Jawa Tengah ditandai dengan pemindahan pusat kerajaan oleh Mpu Sindok ke Jawa Timur. Sejak ini mulailah sejarah negeri Mdang di Jawa Timur.

Selama jaman kerajaan Mdang di Jawa Tengah, seperti telah kita lihat pada kesimpulan-kesimpulan S.2, sudah terjadi bentuk pemerintahan yang benar-benar teratur dan negeri Mdang merupakang negeri pertanian. Dasar pemerintahan yang tercipta pada zaman Jawa Tengah itu merupakan dasar kehiduan politik sampai akhir Hindu-Budha di Jawa Timur. Atas dasar sistem dan susunan pemerintahan itu kerajaan di Jawa Timur berkembang sedikit demi sedikit, sehingga sistem dan susunan pemerintahan benar-benar mencapai bentuknya yang lengkap pada zaman Mojopahit.

Pada zaman Mpu Sindok memerintah di Jawa Tengah mulai terlihat adanya perubahan-perubahan di dalam kehidupan sosial-ekonomi. Tidak hanya kehidupan pertanian saja yang menjadi dasar tegaknya kerajaan / pemerintahan, tetapi pada saat itu kehidupan pelayaran-perdagangan mulai berkembang, bahkan akhirnya ternyata dasar kehidupan ini lebih dapat memberi kemungkinan berkembangnya kerajaan besar. Itulah kiranya yang menjadi pendorong Mpu Sindok mengambil ketetapan memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Jadi tujuannya mula-mula untuk memperkembangkan pelajaran / perdagangan.

Mengapa hal itu harus dilaksanakan di Jawa Timur ?

Sebabnya :

a. Jawa Timur merupakan daerah yang pantainya disebelah utara memiliki muara-muara sungai besar seperti sungai Solo dan sungai Brantas. Pada muara-muara sungai semacam itulah dapat dibangun pangkalan-pangkalan dagang ataupun pengkalan-pangkalan pertahanan. Sungai-sungai besar itu penting sekali sebagai alat perhubungan dengan daerah pedalaman. Barang-barang hasil pertanian dan hasil hutan dengan mudah dapat diangkut melalui sungai-sungai tersebut.

b. Daerah Jawa Timur merupakan daerah yang banyak tanah datarnya, sehingga daerah ini masih memungkinkan tetap berlangsungnya kehidupan pertanian.

c. Jawa Timur lebih dekat letaknya dengan daerah rempah-rempah pada saat itu merupakan bahan perdagangan pokok di Indonesia.[9]

Disamping itu faktor lain yang penting pula, ialah ancaman negara Sriwijaya terhadap negara pelayaran-perdagangan yang baru tumbuh, karena dewasa itu Sriwijaya masih merupakan negara laut yang kuat di Asia Tenggara.

Dengan demikian dapat kita fahami mengapa Sriwijaya membiarkan kerajaan Mdang sebelum Sindok memerintah. Karena selama itu kerajaan Mdang hanya merupakan kerajaan pertanian yang tidak menganggu kepentingan Sriwijaya di laut, bahkan negeri Mdang dianggap sebagai negara penghasil barang-barang perdagangan, yaitu beras, hasil hutan dan binatang. Ketika negeri Mdang berusaha akan menghidupkan pelayaran-perdagangan (yaitu pada masa pemerintahan raja Wawa), timbulah ancaman Sriwijaya. Dan ancaman ini benar-benar memuncak menjadi penyerangan pada masa pemerintahan Dharmawangsa Tguh, yang mengakibatkan kerajaan Dharmawangsa hancur dan Raja meninggal (1017 M).

Betapapun jayanya Sriwijaya dilautan akhirnya juga mengalami kemunduran. Jawa Timur tetap dapat berkembang menjadi negara besar, sehingga pada masa Airlangga memerintah dapat mendesak kekuasaan Sriwijaya di laut Indonesia dibagian Timur. Bahkan Airlangga dapat memakan Sriwijaya untuk mengakui kekuasaannya di Indonesia bagian timur.

Pada masa Airlangga berkuasa, benar-benar pelajaran perdagangan mengalami kemajuan. Hasil-hasil pertanian di daerah pedalaman berkelebihan sehingga merupakan barang-barang dagangan untuk diekspor. Karena itu pada masa ini dibangun pelabuhan-pelabuhan sungai, pelabuhan utama dimuara sungai Brantas yaitu Hudjung Galuh. Disini tempat bertemunya pedagang asing antara lain pedagang-pedagang dari negeri Sailan, Benggala, Tjampu, Birma, dsb.

Barang-barang yang diperdagangkan sebagai barang impor antara lain barang-barang keramik, tekstil dan barang-barang perhiasan. Sedang dari Jawa Timur diekspor, hasil-hasil hutan, beras, kayu dan kulit binatang. Sebab itulah pelajaran sungai dan pengairan mendapat perhatian secukupnya. Usaha-usaha dalam hubungan ini antara lain dibuat waduk-waduk dibeberapa tempat disekitarnya aliran sungai Brantas. Demikian pula di buat tanggul-tanggul dibeberapa tempat dengan tujuan untuk menghindari bahaya banjir, kecuali itu mungkin untuk mengatur aliran sungai Brantas agar tetap mempermudah pelayaran disungai itu. Diantaranya tanggul yang dibuat / diperbaiki adalah tanggul di desa Wringin Sapta. Dalam soal tanggul di desa ini raja menaruh perhatian sepenuhnya karena rakyat telah berulang-ulang memperbaiki tanggul tersebut secara bergotong royong, tetapi berkali-kali gagal, sehingga akhirnya rakyat terpaksa mengirim utusan ke istana untuk melaporkan kepada raja. Atas laporan inilah raja kemudian memerintahkan memperbaiki dan memperkuat tanggul tersebut. Usaha ini ternyata sangat bermanfaat bagi petani-petani dan juga bagi pedagang-pedagang yang berlayar menyusuri sungai tersebut.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1037 dana dicatat oleh Airlangga didalam prasasti yang diketemukan di daerah Kelagon (Sidoarjo).

Dimanakah letak Wringin Sapta itu ?

Di dalam buku-buku sejarah Indonesia yang dapat kita baca dewasa ini, memang kurang jelas dimana letak Wringin Sapta itu sebenarnya. Ada yang menyatakan letak desa tersebut juga dekat desa Kelagen, tempat diketemukannya prasasti itu, karena dalam prasasti itu memang disebut-sebut tentang pengesahan sebagai desa perdikan terhadap desa Kemalagyan, yang telah berjasa bergotong royong membuat bendungan dan terusan. Kamalagyan inilah yang kini menjadi desa Kelagen. Kira-kira 6 km disebelah barat laut desa Kelagen, katanya ada desa yang bernama Ringin Pitu.[10]

Benarkah desa ini masih ada sekarang ? Dan terletak di daerah Sidoarjo ?

Sungai brantas didekat desa Wringin sapta (Wringin Pitu) itu berkelok-kelok, sehingga kemungkinan pada kelokan pertama itu yang sering tanggulnya mengalami kerusakan. Demikian keterangan lebih lanjut pendapat di atas.

Memperhatikan nama Wringin Sapta pada prasasti Kelagen diatas, kami akan menunjukkan nama yang searti dengan nama di atas, yang terdapat di daerah Tulungagung, yaitu desa Ringin Pitu yang letaknya di dekat sungai Brantas, bahkan tidak ada sejauh 1 km. Sungai Brantas dekat dengan daerah inipun banyak berkelok-kelok. Dari desa Ringin Pitu menuju kearah barat melalui desa Kepatihan, Kenayan, Kedungwaru dan beberapa tempat disekitar desa-desa tersebut. Sering dijumpai lapisan pasir setebal kira-kira 1 antara lain, 5 m di bawah permukaan tanah sedalam 2 a 3m. Banyak orang pada saat membuat sumur, menggali tanah untuk keperluan tertentu, menjumpai lapisan pasir semacam itu. Bahkan tidak jarang orang-orang di sekitar desa tadi membangun rumah tanpa membeli pasir yang biasanya diangkut oleh tukang-tukang gerobag/cikar dari sungai Brantas yaitu daerah Ngantru (Tulungagung utara).

Melihat kenyataan ini, maka tidak mustahil kalau daerah/desa-desa tersebut dahulu merupakan daerah / desa-desa yang sering ditimpa banjir sungai Brantas. Jenis pasir yang terdapat di daerah tersebut sejenis dengan pasir Brantas dan jelas berbeda dengan pasir sungai Ngrowo.

Andaikan lapisan-lapisan pasir tersebut terjadi oleh adanya letusan Gunung Kelud kiranya tidak mungkin setebal itu. Sebab letusan gunung Kelud sekitar tahun 1951 yang abunya tersebar jauh ke barat (sampai ke daerah Jogja), hujan abu / pasir di daerah Tulungagung tidak sampai membentuk lapisan setebal 1 dm. Sebab itu tidak mungkin lapisan pasir yang setebal 1 a 1,5 m itu berasal dari letusan Gunung Kelud.

Bila kita hubungkan kenyataan di atas dengan cerita rakyat tentang dibangunnya alun-alun Tulungagung.[11] Kita berkesimpulan bahwa Pusat Kota Tulungagung sekarang ini, dahulu merupakan daerah rendah. Bahkan sekitar tahun 1990 daerah sekeliling gedung IAIN sekarang (bekas gedung CHTH) masih merupakan tanah rendah tempat penampungan air dari sebelah timur, yaitu dari jurusan stasiun dan sebelah timurnya lagi (desa Kepatihan).

Air yang terkumpul ditempat penampungan itu kemudian dibuang mengalir kearah barat, turun kesungai Ngrowo. Selokan sebagai jalan pembungan ini sekarang masih ada (tetapi tinggal kecil saja) yaitu yang terdapat disebelah utara tempat pemotongan babi.

Desa Ringin Pitu pada saat itu (1037) mungkin merupakan desa yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah / desa-desa disebelah baratnya. Meskipun demikian bila saat-saat sungai Brantas meluap airnya sering menyebabkan tanggul-tanggul yang dibangun oleh rakyat di desa itu.

Kita dapat membayangkan, bahwa permukaan sungai Brantas dewasa itu masih dalam, tepi-tepinya masih curam, tetapi betapapun dalamnya permukaan air sungai itu, bila dihulu (Malang dan Blitar) hujan tidak henti-hentinya, tetap memungkinkan permukaan sungai itu mencapai setinggi-tingginya, sehingga dapat mencapai tanggul-tanggul disepanjang tepinya dan dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan dan daerah Ringin Pitu (Tulungagung) yang boleh banyak menimbulkan kerusakan-keruskaan bila dibanding dengan arus sungai itu yang sudah dekat dengan muaranya, seperti Mojokerto, Sidoarjo dan sebagainya.

Mungkinkah Wringin Sapto yang diketahui dalam prasasti Kelagen itu Wringin Sapta yang sekarang menjadi Ringin Pitu didaerah Tulungagung ? Hal tersebut dapat kita hubungkan lagi dengan peristiwa 5 tahun (1032) sebelum Airlangga memerintahkan memperbaiki tanggul di Wringin Sapta itu. Peristiwa dimaksud adalah peristiwa penaklukan daerah selatan semasa Airlangga berusaha mengusai daerah-daerah bekas kekuasaan mertuanya (yaitu Darmawangsa – Tguh). Keterangan tentang peristiwa ini diuraikan oleh Airlangga dalam prasastinya yang sekarang dikenal sebagai “Batu Kalkuta”, yaitu pada bagian yang berbahasa Sanskerta. Kita kutipkan sebagian yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai berikut.[12]

26. Maka adalah pula dalam negeri seorang wanita yang mempunyai tenaga kuat-kuasa, tak ubahnya dengan seorang raksasi. Dengan tak gentar apa-apa maka pergilah beliau (Airlangga penyalin) memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu. Hal itu kejadian pada tahun Saka 954; pada waktu itulah raja mendapat kenamaan karena berani melakukan perbuatan itu.

27. Seperti seekor naga memuntahkan api dengan lidahnya, dan menjilat ke kiri dan ke kanan, maka dinyatakanlah dengan tegas daerah selatan yang paling biadap itu. Setelah mendapat sangat banyak harta rampasan, yang dihadiahkan kepada hambanya, maka kemasyuran itu diambilnya bagi dirinya, diantara orang Brahmana dan Bertapa.

28. Karena didorongkan oleh nafsu mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu menuju kearah Barat, dalam tahun 957 Saka, tanggal 13 pada ketika bulan Badra, sedang naik, pada hari baik-baik hari Rabu, membawa bala tentara yang tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang. Dengan tepuk gemuruh dunia, maka beliau dapat memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya (Raja Wengker, Ponorogo – Penyalin).

Dari kalimat-kalimat pada kutipan di atas dapat kita perhatikan bahwa daerah yang ditaklukkan oleh Airlangga itu terletak didaerah selatan dan dikuasai oleh seorang raja puteri yang luar biasa (beraninya).

Kemungkinan daerah ini adalah daerah Tulungagung seperti juga diperkirakan Drs. Pitono.[13] Apalagi bila kita perhatikan bahwa sesudah menaklukkan raja Wijaya, yaitu penguasa Wengker (Ponorogo sekarang), jadi mungkin sekali daerah Selatan itu adalah daerah Tulungagung, karena relatif daerah ini tidak jauh dari Wengker, dan untuk ke Wengker harus menuju ke arah barat. Mengenai raja puteri di atas, dapat kita simpulkan bahwa dia benar-benar penguasa yang gigih mempertahankan kemerdekaan daerahnya. Dan seperti kita simpulkan pada S.2, sejak zaman Mdang di Jawa Tengah sudah terbentuk susunan pemerintahan yang terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah / desa. Hal semacam ini hanya berlaku sampai berakhirnya Hindhu-Budha di Jawa Timur Pemerintah daerah / desa memperoleh ekonomi seluas-luasnya, sehingga masyarakatnya masih mampu mempertahankan adat kebiasaan kuno.

Pada zaman Dharmawangsa (mertua Airlangga) Wringin Sapta tentunya juga merupakan daerah/desa yang memperoleh atonomi seluas-luasnya. Keadaan semacam ini bila penguasa pusat lemah, dapat menyebabkan pemerintahan desa / daerah memerdekan diri.

Kehancuran kerajaan Dharmawangsa (1017), tentu merupakan kesempatan baik bagi Wringin Sapta untuk melepaskan diri, sebab itu ketika Airlangga berusaha menaklukkan daerah itu ditentang dengan sekuat tenaga. Kembali kita kepada soal perbaikan tanggul di Wringin Sapta. Bukankah perbuatan Airlangga memerintahkan memperbaiki tanggul itu berlatar belakang politik ? Mengingat daerah tersebut 5 tahun yang lampau merupakan daerah yang gigih menentangnya, sehingga bila laporan rakyat di Wringin Sapta tentang tanggul itu tidak mendapat perhatian raja, tentu dikhawatirkan akan timbul sesuatu yang tidak diinginkan.

Berdasar uraian-uraian di atas, maka Wringin Sapta yang dimaksud dalam prasasti Kelagen itu adalah desa Ringin Pitu di Tulungagung sekarang.

Adapun sebabnya peristiwa tanggul itu dicatat oleh Airlangga dalam prasasti yang penempatannya jauh dari tempat pembangunan itu sendiri, dapat kita jelaskan bahwa maksud utama penulisan prasasti itu adalah penegasan desa perdikan Kamalagyan, yang rakyatnya telah bergotong royong membuat waduk dan bendungan yang kenyataannya sangat bermanfaat bagi Bandar utama dan desa kanan kirinya. Sedangkan soal tanggul Wringin Sapta di Tulungagung adalah soal kedua, yang sekaligus dapat diperingati pada prasasti itu karena soal ini ada hubungannya dengan pembangunan pengairan dan jalan lalu lintas air disungai Brantas. Prasasti itu diletakkan di dekat ibu kota pelabuhan, dengan maksud ditunjukkan kepada penduduk kota (pusat pemerintah) bahwa rajapun telah membuat hal-hal yang berguna bagi rakyat diluar kota.

Ada dua jenis keterangan lagi yang masih akan kami kemukakan untuk memperkuat dugaan kita bahwa Ringin Pitu yang dimaksud didalam prasasti Kelagen itu adalah Ringin Pitu di Tulungagung.

Yang pertama ialah tentang nama Kelagen. Di desa Jasem (Kecamatan Karangrejo) terdapat pedukuhan yang bernama Kelagen yang letaknya di tepi sungai Ngrowo.

Kedua : di desa Ringin Pitu Tulungagung diketemukan batu merah yang besar-besar menyerupai batu merah zaman Mojopahit atau sebelumnya (bukan batu merah model sekarang).

Pada masa Airlangga memerintah ternyata tidak hanya perdagangan dan pelajaran saja yang maju, tetapi dengan bukti-bukti seperti kita tunjukkan di atas pertanian juga memperoleh perhatian sepenuhnya. Pada saat ini perkembangan persawahan di daerah-daerah pedalaman tentu makin meningkat. Demikian pula tempat-tempat pertemuan pedangang-pedagang dari luar dan dari dalam negeri makin bertambah. Tempat-tempat semacam ini terutama terjadi ditepi-tepi sungai yang wujudnya kemudian berupa Bandar-bandar / pelabuhan-pelabuhan kecil. Dan hal ini tidak terbatas ditepi sungai Brantas saja, tetapi juga disungai-sungai lainnya yang bermuara di sungai Brantas.

Di daerah Tulungagung sungai Ngrowo merupakan sungai yang penting sebagai jalan lalu lintas yang menghubungkan daerah sebelah selatan dengan daerah sebelah utara (sungai Brantas).

Seperti yang kita uraikan pada bab-bab yang lalu, bahwa Tulungagung selatan merupakan daerah yang paling tua (yang lebih dahulu ramai oleh kegiatan-kegiatan manusia).

Daerah itu adalah daerah Wajak. Rawa didekat daerah ini pada saat itu tentu merupakan tempat penting pula, yaitu tempat naik turunnya penduduk yang akan berpergian / berjual-beli melalui sungai Ngrowo menuju sungai Brantas. Tidak mengherankan kalau di dalam cerita-cerita rakyat (legenda) nama-nama tempat / desa seperti Pacet, Gledug, Waung, Bono, Tawing, dan sebagainya banyak disebut-sebut.[14] Tempat-tempat / desa dan sebagainya kesemuanya terletak di kanan kiri aliran sungai Ngrowo. Dari cerita rakyat itu hanya dapat kita simpulkan bahwa benar-benar sungai Ngrowo sejak zaman kuno itu sudah merupakan sungai yang penting, sehingga tempat-tempat / desa dikanan kiri sungai, tumbuhnya menurut perkembangan kepentingan sungai itu pula. Mula-mula tempat-tempat itu hanya merupakan tempat perhentian pedagang-pedagang setempat dan kemudian menetap, akhirnya tempat itu menjadi desa-desa yang memiliki tanah-tanah persawahan dan kebun-kebun. Pertumbuhan persawahan itu sesuai dengan kebutuhan pangan atas dasar meningkatnya jumlah penduduk. Sedangkan bila hasil-hasil pertanian sudah melebihi kebutuhannya maka kelebihan itu diperdagangkan sebagai barang ekspor, sehingga kalau pada zaman Airlangga perdagangan (khususnya mengenai hasil-hasil pertanian) sangat maju, tidak berlebihan bila kita katakana bahwa daerah yang subur seperti yang terdapat disepanjang sungai Ngrowo didaerah Tulungagung ini, punya peranan penting dalam menjadikan barang-barang dagangan seperti di atas.

Peranan penting di daerah ini akan lebih jelas lagi pada masa Mojopahit.

Pada masa pemerintahan Airlangga, kita belum melihat tanda-tanda adanya pedagang-pedagang/orang-orang asing yang menyusup sampai ke daerah Tulungagung ini. Perdagangan di daerah-daerah pedalaman rupa-rupanya masih dilaksanakan oleh penduduk asli. Memang di atas dikatakan bahwa banyak pedagang-pedagang asing berdagang di Jawa Timur pada masa pemerintahan Airlangga ini. Tetapi hal itu hanya terbatas disekitar ibu kota atau di Bandar-bandar utama seperti Hujung Galuh yang terletak dimuara sungai Brantas.

Tampak ada panyusupan orang-orang asing (terutama orang-orang Cina) ke daerah pedalaman baru kemudian, yaitu paling awal pada zaman Kediri, dan mulai banyak orang-orang asing berdagang di daerah pedalaman pada masa Mojopahit.

Agama dan kebudayaan pada zaman Airlangga juga mengalami perkembangan.

Airlangga sendiri sebagai penguasa adalah pemeluk agama Wisnu. Dan ajaran agama ini benar-benar menjiwai kegiatan-kegiatan dibidang pemerintahan. Dewa Wisnu adalah dewa pemelihara menurut faham Hindu, sehingga kalau usaha-usaha Airlangga selama pemerintahannya untuk kebaikan-kebaikan negara dan rakyat seperti permbuatan waduk-waduk, tanggul, memajukan pelajaran / perdagangan dan sebagainya adalah perbuatan-perbuatan yang sejalan dengan ajaran falsafah Wisnuisme (agama Wisnu). Dan setelah dia meninggal patung perwujudanya dibuat sesuai dengan Dewa pujangganya, yaitu dewa Wisnu naik Garuda. Sebelum dia meninggal, lebih dahulu dia menjadi seorang pertapa, di gunung Penanggungan. Dan ketika akan ditinggalkannya bertapa urusan kerajaan puteri ini menolak kedudukan sebagai raja itu. Dan dia memilih jalan hidupnya sebagai seorang pertapa Pertapaan Puteri inipun digunung Penanggung. Sebagai pertapa dia lebih dikenal dengan sebutan Dewi Kili Suci.

Urusan kerajaan, dengan penolakan Dewi Kili Suci itu akhirnya diserahkan oleh Airlangga kepada-kepada orang puteranya yang lebih muda. Dan untuk menjaga jangan sampai putera-putera ini berebutan kekuasaan, maka Airlangga yang sudah bersusah payah mempersatukan daerah kekuasaanya itu, kini terpaska memecah kerajaan menjadi 2 bagian yaitu Panjalu dan Jenggala.

Pemecahan ini batas-batasnya disuruh menentukan seorang pendeta Budha-Mahayana yaitu Mpu Barada. Hal ihwal pemecahan ini disebut-sebut di dalam hasil kesusastraan kuno, yaitu di dalam “Calon Arang”.[15]

Di dalam prasasti Djoko Dolok (1289) yang didapatkan disimpang Surabaya, Kartanegara (raja Singosari terakhir) memerintahkan mendirikan patung Budha Aksobya (Djoko Dolok) dipekuburan Wurare tempat Mpu Barada dahulu bersemayam. Maksud pendirian patung ini ialah untuk menghilangkan tuah-sakti Mpu Barada yang telah menyebabkan perpecahan negara Kahuripan, karena pada waktu itu Kertanegara bercita-cita membentuk persatuan di bawah naungan Singosari.

Di dalam buku kuno Negarakertagama, lebih banyak diuraikan hal perpecahan negara yang dilaksanakan oleh Mpu Barada itu. Di bawah ini kami kutipkan terjemahan bebas hal tersebut yang tercatat pada sarga (bagian) ke 58 dan 59 dari buku itu.[16]

1. Ketahuilah riwayat pohon Kamal, seperti tersebut dalam cerita lama. Seri Baginda Pandjalunata adalah di Daha, pada ketika itu tanah Jawa terbagi dua. Maka sebabnya Sri Baginda Airlangga berbuat demikian ialah karena berasa sayang kepada (kedua) putranya, yang telah diangkat menjadi prabu.

2. Maka pada ketika itu adalah seorang-orang beragama Budha ma aliran Mahayana yang sangat putus pelajarannya jelas pengetahuan tentera mengalami segala orang pertapa; tempat diamnya ditengah-tengah kuburan Lemah Cerita, dan didatangilah segala manusia yang membutuhkan bantuan, ia pernah pergi ke pulau Bali menyebrangi selat dengan tak takut-takut berjalan di atas air laut; namanya orang bertuah itu ialah, Mpu Barada yang mempunyai pengetahuan dapat melihat kala yang tiga, waktu yang lampau dan sebagainya.

3. Kepada orang keramat Rahiang itulah dimajukan permohonan supaya memperdua bumi, dan permohonan itu tak ditolaknya. Adapun batas antara kedua daerah itu ditentukannya dengan mencucurkan air mata kendi dari atas langit. Dan jalannya adalah seperti berikut : dari barat menuju kearah menuju selatan, tidaklah jauh, sehingga sampai di pindahkan seolah-olah lautan samudra. Demikianlah bumi Jawa mendapat dua orang prabu.

4. Menurut kata orang, maka orang bertapa yang utama itu terhenti pada sebatang pohon kamal, dan lalu turun dari langit, yaitu di desa Palungan tempat dia meletakkan kendi yang terkenal di dunia ini. Dia terhambat oleh tingginya sebatang pohon kamal, sehingga pakaiannya tersangkut dipuncak kayu tersebut. Itulah sebabnya, maka pohon itu lalu kena sumpah, supaya menjadi kecil rendah, dikutuk oleh orang yang terbang diruang antara (langit dan bumi).

5. Mula-mulanya pohon itu dijadikan tanda kecilakaan, dan sejak itu banyaklah orang merasa takut kecemaran, sehingga meninggalnya tempat diamnya. Itulah yang menjadi alasan mengapa di sana didirikan rumah-rumah persembahan, supaya tanah Jawa menjadi waras dan bersatu lagi, supaya raja dan tanah menjadilah tetap dan rakyat jangan kebigungan; supaya menjadilah tanda, bahwa Sang Prabu Jaya diseluruh dunia sebagai pemerintahan bumi, Prabu Tjakrawartin.

6. Rumah persembahan itu dinamai orang Pradjnjapara mitapuri, Djnjanawidilah yang melaksanakan upacara Pradjnjaparamita ketika rumah itu dibangunkan. Sunggulah demikian, karena beliau ialah seorang pendeta tua yang mengenali tentaranya. Seorang penganjur yang telah berpakaian mashab dan mengetahui segala kitab agama. Jelaslah, mengapa Mpu Barada yang menjelma dalam batang tubuhnya dapat menggirangkan hati Sang Prabu.

7. Adapun tempat Sri Baginda Puteri Rajapati dikuburkan ialah di Boyolangu, Karena yang mulia Djnjanawidi mendapat perintah sekali lagi melaksanakan ibadat, pembaktian tanah dan pembangunan, rumah persembahan itu dinamai orang juga Wisjejapura, karena pembangunannya dilakukan dengan perhatian juga istimewa. Kepada Menteri Agung sendiri diturunkan perintah supaya mengawasinya, sedang demung Bodjo yang muda menyudahi pekerjaan dengan segala keahlian.

8. Umumlah diseluruh daerah bahwa tempat rumah persembahan dibangunkan itu dipuja-puja selama Wisjaspuri menjadi tempat kubu berbakti kepada Sri Paduka maharajapatni. Pada tiap-tiap bulan Badrabada beliau dipuja oleh para menteri dan Brahmana, semuanya dengan rasa kebaktian. Selamatlah beliau di sorga dengan pengetahuan bahwa cucunya kuat-kuat memerintah sebagai seorang Nata Tunggal di tanah Jawa.

Dari kutipan di atas ini pokoknya menceritakan tentang pembagian kerajaan pada zaman Airlangga oleh Mpu Barada. Batas-batas di tentukan dari barat ke timur sampai di selat Madura. Dari utara ke selatan batas pemisah utara-selatan ini adalah di desa Palungan dimana Mpu Barada tersangkut pada pohon asam (kamal). Karena sabda Mpu Barada asam tadi menjadi kerdil dan desa tersebut, menjadi “angker”, (menakutkan penduduk di situ). Karena itu untuk menghilangkan “ke-angkeran” dan memulihkan kembali persatuan kerajaan (tanah Jawa), raja (Prabu Hayam Wuruk) menyuruh pendeta tua yang sakti seperti Mpu Barada pula, bernama Djnjanawidi untuk membangun rumah persembahan yang disebut Pradjnjanawidi untuk membangun rumah persembahan yang disebut Prandjnjaarami tapura, atau Wisjesjapura di Boyolangu tempat Radjapatni (nenek-Hayam Wuruk) dimakamkan. Tempat ini untuk selanjutnya sebagai tempat memuja raja puteri itu.

Dengan memperhatikan tiga sumber di atas (cerita Calon-Arang, prasasti Djoko Dolok dana negara-kertagama Sarga 58 dan 59) memang benar Airlangga telah memecah negara menjadi 2, masing-masing untuk putranya sebagai raja di Jenggala dan Panjalu.

Pemecahan negara yang dilaksanakan oleh Mpu Barada dengan kesaktiannya yang luar biasa itu, rupanya merupakan kenyataan sejarah yang tidak diinginkan terulangnya oleh Kertanegara dan Hayam Wuruk yang keduanya bercita-cita membentuk kerajaan, besar yang bersatu. Oleh sebab itu kedua-duanya berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan tuah-sakti Mpu Barada yang mungkin masih mempunyai daya-memisah kerajaan yang dipimpin oleh kedua. Orang raja tersebut Kertanegera mendirikan patung Budha Aksobya (Djoko-Dolok) dibekas kediaman Mpu Barada, yaitu di Wurare atau Lemah Cerita. Yang terletak di daerah Simpang Surabaya. Prabu Hayam Wuruk memerintahkan mendirikan rumah persembahan tempat memuliakan arwah neneknya, yaitu Pradjnjaparamita (Dewi Pengetahuan) dan petungnya didirikan dicandi makamnya yaitu di Boyolangu. Kedua Dewa itu (Dewa Budha Aksobya dan Prandjnjaparamita), dianggap oleh mereka akan dapat menghilangkan tuah sakti Mpu Barada dan penempatan patung-patung itu dapat kita samakan dengan penanaman “tumbal” seperti adat kebiasaan Jawa. Mengenai batas daerah yang dibuat oleh Mpu Barada itu, pada umumnya sarjana-sarjana sepakat mengakui sungai Brantas sebagai batasnya. Tetapi dimana ujung selatan dari batas tempat Mpu barada berhenti itu ? Sampai sekarang masih bermacam-macam pendapat mengenai letak Palungan atau Kamal Pandak tempat Mpu Barada terhenti itu, karena tanda-tanda adanya hubungan nama itu dengan nama desa sekarang sudah sukar diketahui. Tetapi dengan memperhatikan isi sarga ke 58 dan ke 59 dari negara cenderung menyatakan tempat itu didaerah Tulungagung, yaitu sekitar Boyolangu.

Di dalam kutipan di atas, pada nomor lima dinyatakan bahwa di tempat tumbuhnya pahon kamal (asam) yang dikutuk oleh Mpu Barada telah didirikan rumah persembahan untuk Dewi Prdjnjaparamita (Pradjnjaparamitapuri). Yang dimaksud Pradjnjaparami tapuri itu tidak lain adalah candi makam Gayatri yang disebutkan di “Boyolangu” itu.

Karena candi ini sudah rusak sekali kita tidak dapat menggambarkan bagaimana bentuk bangunan itu semula. Patung yang merupakan patung Pradjnjaparamita masih diketemukan walaupun sudah tidak berkepala, dan bagian-bagian lainnya banyak yang hilang. Sekarang patung tersebut ditempatkan pada kedudukannya semula.

Keterangan seperti yang terdapat didalam kutipan di atas, yang menyatakan bahwa tempat itu merupakan tempat yang perlu dipelihara dan dihormati sebagai tempat kebaktian untuk Sri Paduka Maharadjapatni, ditambah lagi bahwa para menteri dan para Brahmana pada tiap bulan Badrapada datang ke tempat itu untuk memuliakannya, akan memudahkan kita untuk memahami mengapa di daerah sebelah timur Boyolangu terdapat desa Sanggrahan.

Mereka yang datang berziarah ke tempat itu, terutama yang berasal dari Ibu kota Mojopahit tentu membutuhkan tempat “masanggrah” (beristirahat) dan tempat inilah yang kemudian menjadi desa Sanggrahan. Perlu kita ketahui bahwa jalan darat ke Boyolangu yang dapat ditempuh oleh peziarah-peziarah pada masa itu bukanlah jalan darat seperti yang biasa kita lalui sekarang dari alun-alun Tulungagung ke selatan, melainkan dari arah utara (Ngantru) terus ke selatan melalui desa Jepun sampai desa Sanggrahan. Untuk desa Boyolangu masih harus ke barat sedikit. Bila dari Boyolangu diteruskan ke barat, terus melalui desa Ngranti sampailah ke daerah rawa, yaitu Rawa Gesikan. Mungkinkah “Ngranti” itu dari perkataan yang mempunyai arti “menanti”, hubungannya dengan menanti perahu “perahu sebelum berlayar melalui rawa menuju ke utara ? (sisipan “ar” menunjukkan pengertian “banyak / berulang-ulang” dalam bahasa Sunda).

Jalan menuju ke selatan mulai dari Ngantru, dapat ditempuh melalui jalan lain yaitu dari Ngantru membelok ke timur, kemudian menyeberangi sungai Brantas melalui tambangan (tempat penyeberangan) di desa Majangan. Kemudian turun ke desa Wringin Pitu terus melalui desa Plosokandang, Wonorejo, Junjung sampai Sanggrahan.

Nama “Boyolangu” sendiri mungkin merupakan nama yang paling tidak mulai popular sejak dibangunnya candi di tempat ini. Sebab sudah kita ketahui bahwa pendirian candi itu maksudnya adalah sebagai “tumbal” atau penolak bahaya (dianggap demikian karena Gayatri adalah lama bertapa).

Kata “Bhayalango” (sekarang Boyolangu) kemungkinan besar adalah perubahan dari kata (Bhayalanga) yang artinya “supaya mengalangi bahaya” (bhaya = bahaya; alang = menghalangi; akhiran “a” punya arti supaya;agar).

Perlu kita ingat bahwa perkataan Bhayalango terdapat pada buku Negarakertagama yang berbentuk syair. Sehingga penulis terikat oleh ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi di dalam mengubah syair tersebut antara lain tentang tekanan kata, panjang pendeknya suara, guru lagu dan sebagainya. Maka perkataan “Bhayalanga” disesuaikan dengan kebutuhan dan kemudian menjadi “Bhayalango”.

Didalam Negarakertagama memang tidak ada menyinggung soal nama tersebut. Pembangunan candi ini dilaksanakan pada tahun 1362, dua belas tahun sesudah meninggalnya Maharajapatni (Gayatri) tepat pada hari Upacara Srada bagi raja puteri tersebut.

Upacara Srada itu adalah upacara untuk penyempurnaan arwah Maharajapatni, dengan maksud menghilangkan segala sisa-sisa ikatan keduniaan, sehingga arwah yang meninggal itu dapat suci benar-benar untuk masuk nirwana. Upacara semacam ini masih terdapat di Bali yang dikenal sebutan “Tiwah”.[17]

Upacara ini disertai dengan berbagai macam pengorbanan – berpuncak pada panggilan arwah yang meninggal supaya masuk ke dalam “puspasarira”, yaitu boneka yang terbuat dari bunga-bungaan, untuk dipuja.

Sesudah raja (Hayam Wuruk) beserta segenap keluarganya dan para pejabat kerajaan memberi saji-sajian dan memberi hadiah-hadiah kepada rakyat, akhirnya puspasarira itu dibakar bersama-sama sisa-sisa tulang yang meninggal. Sebagai penutup upacara ini ialah penempatan abu jenazah itu kedalam candi. Abu jenazah semacam ini biasanya ditempatkan pada peti baju yang didalamnya disertai benda-benda berharga seperti kepingan perak atau emas, permata dan sebagainya. Sebab itu banyak candi-candi yang rusak, kemungkinan sejak zaman Islam dan terutama zaman Belanda banyak tulang-tulang beda-beda berharga yang menjadikan candi sebagai sasarannya.

Seperti pada zaman sebelumnya, suatu desa yang berketempatan bangunan-bangunan suci seperti candi, pertapan dan sebagainya diwajibkan memelihara bangunan-bangunan tersebut. Desa / daerah-daerah semacam ini biasanya disyahkan oleh raja sebagai daerah “perdikan” yang dinamai “sima”. Desa / daerah perdikan itu dikepalai oleh seorang penghulu agama yang langsung dibawah kekuasaan raja, artinya tidak boleh pejabat-pejabat di bawah raja campur tangan urusan desa itu kalau tidak ada perintah raja. Dengan cara ini kemungkinan untuk mempermudah raja memeriksa dan mengetahui secara langsung daerah-daerah / desa yang diberi tugas suci itu. Demikian pula mengenai pemungutan pajak, penerima pusat langsung memungut ke daerah / desa itu tanpa melalui pejabat-pejabat lain seperti daerah / desa yang bukan desa perdikan.

Kerajaan Mojopahit sepeninggal Gajah Mada (1364) dan Prabu Hayam Wuruk (1309) mulai mundur. Hal ini disebabkan karena hilangnya Gajah Mada dan tidak ada orang yang dapat menandingi kemampuannya di bidang politik. Apalagi sesudah Hayam Wuruk meninggal, pengganti-penggantinya lemah pemerintahannya dan terjadi perebutan tahta sehingga menimbulkan perang-perang saudara antara lain Perang Paragreg, akibatnya membawa kemunduran Mojopahit. Di dalam babad mundurnya kewibawaan Mojopahit itu diperingati dengan sangkalan “Sirna hilang kertaning bumi” (1400 C = 1478 M) kemunduran Indonesia sehingga ± tahun 1500 Mojopahit hilang dari gelanggang sejarah. Sedang bupati-bupati pantai yang memeluk agama Islam kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan baru yang sudah mendasar faham baru yaitu Islam. Di Jawa kerajaan-kerajaan Islam itu adalah : Demak, Pajang, Banten dan Mataram.

S.4 Pemerintahan, Agama dan Kebudayaan

Pada bab yang lampau sudah kita ketahui bahwa dinasti Sanjaya di Jawa Tengah memberi dasar pemerintahan yang kuat untuk masa-masa berikutnya.

Pada zaman Hindu-Budha di Jawa Timur hal ini berkembang terus. Dari zaman Mpu Sindok, Dharmawangsa, Airlangga, Kediri dan Singosari system dan susunan pemerintahan berkembang setingkat demi setingkat sehingga zaman Mojopahit benar-benar memperoleh bentuknya yang khas. Secara singkat dapat kita katakan bahwa raja adalah pusat segala-galanya. Di dalam tugasnya sehari-hari dia didampingi oleh keluarganya yang tergabung di dalam sautu Dewan yang disebut “Sapta Prabhu”.

Perintah dan keputusan-keputusan raja disampaikan kepada rakyat melalui Dewan Menteri yang dikenal dengan sebutan “Menteri – Katrini”, terdiri dari 3 jabatan Menteri yaitu :

1. Rakryan menteri i Hino

2. Rakryan menteri i Sirikan

3. Rakryan menteri i Halu

Menteri Katrini inilah yang kemudian meneruskan perintah dan keputusan raja melalui Dewan Menteri yang lain, yaitu “Panca ring Wilwatikta” (Panca Tunggal Mojopahit), yang terdiri dari 5 jabatan menteri yaitu :

1. Rakryan Apatih

2. Rakryan Demung

3. Rakryan Kanuruhan

4. Rakryan Rangga

5. Rakryan Tumenggung

Panca ring Wilwatikta itulah melaksanakan perintah-perintah / keputusan-keputusan raja sampai kerakyat jelata.

Di samping Dewan-dewan Menteri di atas ada dewan lain yang mengurusi soal pengadilan dan agama. Dewan ini disebut “Sapta-Upapati”.

Dewan ini terbagi menjadi 2 golongan yaitu yang mengurusi pengadilan agama Siwa (kasaiwan) terdiri dari 5 orang upapati, dan dipimpin oleh seorang Dharmadhwaksa ring Kasaiwan.

5 upapati itu masing-masing bergelar “pameget” yaitu :

1. Pameget i Tirwan

2. Pameget i Kandamuhi

3. Pameget i Manghuri

4. Pameget i Pamwatan

5. Pameget i Djambi.

Yang mengurusi pengadilan dan agama Budha (Kasogatan) terdiri dari 2 orang uppatti yang juga dipimpin oleh seorang Dharmadhyaksa (Dharmadhyaksa ring Kasegatan).

2 Upapatti ini juga bergelar pameget, yaitu :

1. Pameget i Kandangan Atuha

2. Pameget i Kandangan Rarai

masing-masing keluarga raja disamping sebagai pembantu tugas sehari-hari raja, juga diserahi mengepalai daerah sebagai bagian dari kerajaan. Mereka itu semuanya bergelar Bhre, seperti : Bhre Daha, Bhre Singosari, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan sebagainya, dan mereka berkedudukan di ibukota.

Ayah raja, yaitu Bhre Singosari, disamping tugasnya itu dibebani tugas lain sebagai Adhyaksa yang menentukan luas dan daerah-daerah yang harus ditanami dan mencatat jumlah penduduk. Paman raja, Bhre Wengker, bertugas mencatat jumlah desa, mengontrol keadaan sawah dan ladang mengurus pemeliharaan jalan-jalan, bendungan, bangunan-bangunan suci, pohon beringin, dan rumah-rumah penduduk.

Lalu lintas sungai mendapat perhatian secukupnya, dan tempat-tempat penyeberangan sungai (tambangan) diurusi dengan rapi, dan tukang-tukang tambang dikenal dengan sebutan “Wwang anambangi” dan mereka terorganisir rapi dan wakil-wakilnya berada di ibukota.

Di daerah Tulungagung tempat penyeberangan sungai seperti itu yang sampai sekarang masih ada ialah di desa Majangan dan mungkin adanya lebih dahulu, yaitu sejak zaman Airlangga.

Melihat nama yang sampai sekarang masih hidup itu, disamping sebagai tempat penyebarangan sungai, kemungkinan besar tempat ini dahulu merupakan tempat pembuatan perahu-perahu besar yang disebut Majang yang banyak digunakan untuk lalu lintas air pada masa itu.

Pelaksanaan pemerintahan Mojopahit baik dilur maupun di dalam pulau Jawa lebih banyak memberi kebebasan daerah-daerah, sehingga daerah-daerah / desa-desa tetap merupakan daerah / desa otonom yang dikepalai oleh pejabat-pejabat daerah / desa yang bergelar “rama”.

Untuk menjaga keamanan Negara Mojopahit juga memiliki angkatan perang cukup banyak. Angkatan ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu Angkatan Laut dan Angkatan Darat.

Angkatan perang ini pengawasannya langsung di bawah maha patih Mangkubhumi, sedang kegiatan Angkatan Laut diserahkan Senapati Laut (Jalasenapati).

Angkatan Darat terbagai menjadi 2 golongan, yaitu: Prajurit mengawal Tatana (Bhayangkara) dan Prajurit Keamanan Negara, (Dharmaputera).[18]

Mengenai agama pada zaman Mojopahit tidak ada pertentangan. Agama Hindu dan Budha hidup berdampingan. Hal ini dapat terjadi karena agama Budha yang berkembang di Jawa Timur sudah mengalami proses pertumbuhan yang pesat sekali terutama terjadi pada masa Singosari (pada masa pemerintahan Ronggowuni dan Kartanegara).

Unsur-unsur agama Hindu lebih banyak mempengaruhinya sehingga nama Mojopahit agama-agama itu dapat saling mendekati.

Agama yang diakui negara pada masa itu ialah agama Hindu-Siwa dan agama Budha. Masing-masing seperti yang kita jelaskan diatas diurusi oleh upapatti. Upapatti yang mengurus agama Siwa lebih banyak jumlahnya, ini tidak berarti bahwa agama itu juga lebih diutamakan, melainkan karena agama itu lebih banyak sekte-sektenya.

Diantara hasil kesusastraan zaman Mojopahit yang menguraikan tentang hakekat agama Siwa dan agama Budha ialah buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Salah satu kalimat dari buku inilah yang kemudian dipetik dan diterakan pada lambang negara kita sekarang.

Kami kutip satu bait syair dari buku tersebut yang berisi pokok-pokok falsafat yang menunjukkan hakekat agama-agama tersebut.[19]

Hyang Budha etan pahi Qiwa raja dewa,

Rwanekadhatu winurus, warabudha wiqwa,

Bhineki rakwa ring apan kena parwwanosen,

Mangka Jinatwa lawan Qiwatatwa tunggal,

Bhineka tunggal ika tan han dharma mangrwa.

Artinya kira-kira demikian:

Hyang Budha tiada bedanya dengan Qiwa, raja sekalian dewa-dewa,

Kedua-duanya dikatakan terdiri atas berbagai-bagai zat,

Sang Budha adalah maha ada.

Bilakah orang dapat membedakan (membagi dua) kedua itu, meskipun kelihatan berbeda (terbelah).

Bukankah hakekat Sang Jina dan Sang Qiwa itu satu jua.

Berbeda mereka (terbelah itu = bhinna ika).

(tetapi) mereka satu jua (satu itu = tunggal ika),

tak ada dharma yang mendua

Peninggalan-peninggalan bangunan kuno yang terdapat di daerah Tulungagung terutama berasal dari Mojopahit dan sebagian besar berupa candi. Adapun letaknya disekitar daerah Wajak / Boyolangu. Hal ini sudah kita uraikan di atas, sebabnya ialah pentingnya daerah tersebut di masa-masa lampau. Diantara candi-candi itu yang sudah kita sebut-sebut ialah; candi Gayatri yang merupakan candi Siwa. Patung utama adalah perwujudan Gayatri sebagai Dewi Pradjnjaparamita. Kecuali itu di daerah ini pula dicandikan jenazahnya Wikrama-wardhana tahun 1429, yaitu menantu Prabu Hayam Wuruk. Dimana letak candi ini sebenarnya kurang dapat kita pastikan. Kemungkinan yang terletak di suka yang kabarnya telah dibongkar oleh rakyat ± tahun 1965. dibagian selatan terdapat bangunan-bangunan lain yang terkenal sebagai candi Dadi dan Candi Tjungkup. Candi di Dadi terletak di atas sebuah bukit.

Masih ada berupa candi-candi di daerah Tulungagung, tetapi dari zaman pemerintahan siapa candi-candi itu didirikan, kurang jelas. Dibagian utara, yaitu di daerah Penampehan terdapat candi Asmorobangun (menurut sebutan rakyat) yang mungkin berasal dari zaman kediri. Macam-macam kebudayaan yang masih dapat kita lihat di daerah Tulungagung, yang sebenarnya berakar dari zaman kuno antara lain yaitu wayang, reog, jaranan (kuda lumping), tiban dan lain-lain.

Wayang, sebenarnya merupakan kebudayaan Indonesia yang sudah tua umurnya. Semula wayang itu merupakan alat pemujaan roh nenek moyang dengan menggunakan boneka-boneka/patung-patung. Wayang yang sudah diserasikan dengan kebudayaan Hindu mulai muncul sebagai pertunjukkan pada zaman Airlangga. Pada zaman ini pertunjukkan itu juga masih bersifat keagamaan. Peranan penting di dalam pertunjukkan wayang ini adalah “dalang”, yang semula dalang itu adalah pendeta (purohita) yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan dan juga sebagai juru penerang, baik soal-soal agama, politik atapun soal-soal sosial pendidikan. Wayang kulit di kenal juga dengan nama wayang Purwo. Nama ini muncul dari kata parwa (bagian-bagian cerita dari Mahabarata) sebab memang pada zaman Airlangga cerita-cerita yang dipentaskan dan dipertunjukkan dengan wayang ini adalah cerita-cerita Hindu antara lain dari Mahabarata.

Reog dapat kita katakan merupakan bentuk tarian yang sangat sederhana, sebab si penari (yang menari bersama-sama) masing-masing membawa instrumen berdiri yang berupa gendang. Reog yang terdapat di Jawa Timur khusus hanya menari saja. Reog yang terdapat di Jawa Barat agak berbeda dengan di Jawa Timur. Reog Jawa Barat tidak terus menerus menari saja, tetapi ada saat-saat berdialog antara penari-penari itu sendiri. Tentang dasar tarian reog dan instrumennya rupa-rupanya sama saja antara yang terdapat di Jawa Timur dan di Jawa Barat.

Tarian ini merupakan tarian yang bersumber pada tari-tarian kuno, hal ini dapat kita buktikan dari adanya relief yang terdapat di candi Prambanan, yang menggambarkan orang menari berjajar-jajar dengan menggunakan instrument gendang pula.

Jaran (kuda lumping) merupakan tarian yang digemari oleh rakyat. Rupa-rupanya tarian ini merupakan fragmen dari cerita Pandji yang menggambarkan Raden Pandji berkelana dengan pengikut-pengikutnya naik kuda dihutan-hutan.

Jenis tarian kuda lumping ini di Tulungagung ada beberapa, antaranya: jaranan Jawa, Jaranan Pegon, jaranan ponorogo, jaranan Sentarewa dan sebagainya. Perbedaan satu sama lain tidak banyak, hanya terletak pada pakaian, gamelan atau alat-alat yang lain. Tentang dasar tariannya sama saja.

Tiban, merupakan suatu permainan dua orang saling cambuk mencambuk. Cambuk yang dipergunakan tersebut dari lidi aren juga diancam (dipintal). Inti permainan ini adalah latihan keberanian, tetapi umumnya permainan ini dimainkan bersamaan dengan upcara “meminta hujan”. Kita memang tidak dapat menunjukkan dari zaman apa tarian / permainan ini asal mulanya. Tetapi melihat pelaksanaan permainan ini biasanya pada musim kering, dimana petani-petani sangat mengharapkan adanya hujan, maka nama permainan itulah yang mempunyai arti magis. Tiban berasal dari kata “tiba”, yang artinya jatuh. Dalam hal ini dengan diadakannya permainan itu diharapkan agar “jatuh hujan” pada saat-saat kering itu. Kepercayaan semacam ini tentu tidak terlepas dari unsur dinamisme /animisme yang memang pernah hidup di tanah air kita. Pelaksanaan permainan tiban didahului dengan sembahyang Istiqa.

S.5 Tentang orang-orang Asing

Seperti kita singgung-singgung pada S yang lalu, pada zaman Airlangga belum kita lihat adanya orang-orang Asing (terutama orang-orang Cina) yang berdagang ke daerah-daerah pedalaman.

Penyusupan orang-orang Cina mulai tampak pada zaman Kediri. Dari berita Cina disebutkan bahwa kerajaan Kediri mempunyai sebuah gedung tersendiri yang diperuntukkan menginap saudagar-saudagar / tamu-tamu Asing. Dari keterangan ini kitapun belum dapat menyimpulkan bahwa orang-orang Asing sudah menyusup berdagang di pedalaman sampai menetap di daerah itu.

Juga pada zaman Singosari kita melihat orang Cina yang sampai di daerah itu, tetapi hanya merupakan utusan yang sengaja akan meminta tanda takluk raja Jawa untuk Kaisar Cina. Hal inilah yang ditentang oleh Kertanegara sehingga utusan Kaisar Cina yang datang ke istana singosari dilukai mukanya dan kemudian disuruhnya kembali ke negerinya. (Sebagai tantangan).

Tantangan ini kemudian dilayani oleh Kaisar Kubilai Khan, tetapi sayang setibanya di pulau Jawa, tentara Cina yang balas dendam itu tidak menjumpai lagi Kertanegara, karena sudah meninggal. Kemudian mereka dapat diperdaya oleh Wijaya pembentuk negara Mojosari untuk melumpuhkan kekuasaan Kediri. Setelah berhasil, tentara Cina itu sendiri di pukul oleh Wijaya sampai menderita korban banyak sekali. Tinggal sebagian kecil saja yang dapat pulang ke negerinya.

Dari kenyataan sejarah di atas kita berkesimpulan bahwa sampai awal berdirinya Kerajaan Mojopahit tentu belum ada pedagang-pedagang Cina yang di daerah pedalaman.

Yang jelas orang-orang Cina boleh menetap di daerah-daerah pedalaman sejak zaman penjajahan Belanda. Mereka adalah orang-orang yang dapat membantu pemerintah Belanda dalam hal penarikan pajak dan sebagainya.

Next

home


Tinggalkan komentar

Kategori