Oleh: Drs Suprayitno | September 24, 2009

BAB II BUKU BABAD TULUNGAGUNG


BAB II

MENINJAU MENGENAI DAERAH TULUNGAGUNG

PADA ZAMAN PRA-SEJARAH

Menurut pengertian umum yang dimaksud dengan zaman Pra-sejarah adalah zaman dimana belum ada hasil-hasil kebudayaan yang berisikan tulisan yang dapat digunakan untuk menyusun pengetahuan sejarah mengenai zaman itu.

Kedalam perwatasan waktu Pra-sejarah ini termasuk juga sejarah terbentuknya bumi, mulai timbulnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[1]

Dalam tulisan ini sekedar akan kami petikkan kesimpulan-kesimpulan sejarah terbentuknya bumi untuk mengetahui betapa tuanya sebagian dari daerah Tulungagung ini.

Sepanjang sejarahnya, bumi sesudah tercipta sebagai bagian-bagian dari alam semesta ini, dibedakan menjadi empat zaman, yaitu :

I. Zaman Tertua (Archaecum)

II. Zaman Hidup Tertua (Palaeozoicum) – disebut juga zaman pertama (Primair).

III. Zaman Hidup Pertengahan (Mesozoicum) – disebut pula zaman kedua (Sekundair).

IV. Zaman Hidup Baru (Neozaicum) – zaman ini dibagi lagi menjadi 2 yaitu, zaman ketiga (Tertiair) dan zaman ke empat (Quartair).

Pada zaman ketiga (Tertiair) bentuk kepulauan Indonesia hanya merupakan deretan pulau-pulau kecil yang sekarang merupakan punggung-punggung pegunungan yang membujur dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan membelok ke Sulawesi. Dibagian tengah : dari Semenanjung Malaka, kepulau Riau, Bangka – Balitung, melalui Laut Jawa membelok menuju ke Kalimantan Selatan. Dan sebagaian juga paling utara berupa punggung-punggung pegunungan Kwen Lun di Kalimantan. Selama akhir zaman ketiga dan terus berlangsung pada sebagian zaman keempat, terjadi perubahan yang hebat sekali. Di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi pula gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita.

Perubahan – perubahan tersebut diperkirakan mulai sejak ½ juta tahun yang lampau.

Dari uraian diatas dapatlah kami kemukakan bahwa terbentuknya daratan – daratan pegunungan Gamping dibagian selatan Pulau Jawa yang membujur dari Jawa Tengah sampai di Jawa Timur terjadi pada masa ± ½ juta tahun yang lampau. Dan ini berarti bahwa bagian selatan daerah Tulungagung yang menjadi sebagian sumber perekonomian di daerah ini merupakan bagian tanah yang cukup tua umurnya. Daerah tersebut dengan hasilnya batu kapur dan batu marmer ternyata mempunyai peranan penting dalam perkembangan Sejarah Tulungagung khususnya.

Pada jaman Ke – empat (Quartair) terjadilah empat kali jaman Es, dimana pada saat – saat demikian sebagian air di lautan yang dangkal menjadi kering. Termasuk pula laut Jawa pada saat itu menjadi daratan yang luas sehingga Pulau Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaka menjadi satu daratan Asia. Selama jaman es ini daerah Katulistiwa tidak mengalami adanya es, tetapi yang dialami adalah musim hujan yang lama ada tanda – tanda hidupnya mahkluk yang mempunyai sifat – sifat kemanusiaan, tetapi bentuk tubuhnya masih menyerupai kera – kera besar. Makhluk – makhluk semacam ini umum disebut manusia kera (pithecanthropus). Dan para Sarjana berpendapat bahwa tanah tumpah darahnya di daratan Asia.

Pada saat – saat terjadinya jaman es, daerah itu dingin sekali hawanya sehingga binatang – binatang dan manusia kera berpindah menuju kearah selatan , ke daerah katulistiwa. Diantara manusia – manusia kera itu ada yang sampai di Indonesia. Dan terbukti sisa – sisa kerangkanya.yang telah membatu banyak diketemukan di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan menurut penyelidikan jenis manusia – kera yang tertua di dunia sisanya juga diketemukan di daerah ini.

Di daerah Tulungagung yaitu di daerah Wajak pada tahun 1889 diketemukan pula sisa-sisa manusia purba termasuk jenis manusia paling muda yang oleh para ahli digolongkan kedalam jenis manusia cerdas (Homo Sapiens). Tengkorak “Manusia Wajak” (Homo Wajakensis) ini ternyata ada persamaan-persamaannya dengan tengkorak suku bangsa asli di Australia. Karena itu diperkirakan Homo wajakensis ini merupakan nenek moyang suku bangsa asli di Australia.

Hal ini yang menyolok mengenai manusia wajak ini, bahwa jenis manusia ini sudah menunjukkan ketinggian peradabannya dibanding dengan jenis-jenis manusia yaitu dia sudah ditanamkan (dikuburkan). [2] Padahal di dalam kehidupan prasejarah masa – masa berikutnya, sistem penguburan itu baru dikenal sesudah manusia mengalami proses perkembangan beratus-ratus tahun lamanya yaitu pada jaman Batu Muda (Neolitikum) yang sudah lama lewatnya dari jaman Es – Akhir.

Dasar- dasar penguburan adalah erat sekali dengan kepercayaan yaitu merupakan usaha melindungi roh-roh dari gangguan alam atau binatang buas. Maka dari itu kalau memang benar Homo Wajakensis itu sudah mengenal usaha melindungi hidup mereka yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan hidupnya, mendirikan tempat-tempat tinggal atau berlindung di dalam gua-gua untuk menghindari keganasan alam dan binatang buas. Dalam hubungan ini tidak mustahil bila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak dahulu juga merupakan tempat tinggal manusia-manusia seperti Homo Wajakensis itu.

Gua-gua tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sejarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni gua itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan.

Daerah Wajak relatif tidak jauh dari rawa-rawa yaitu rawa Bening-Bedalem. Kemungkinan besar memang rawa ini merupkan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya gunung Gamping di dekatnya.

Mengenai rawa ini didalam cerita-cerita rakyat banyak disebut sebut dalam hubungannya dengan daerah wajak dan daerah sekitarya. Hal ini juga merupkan bukti bahwa sejak lama daerah ini merupakan daerah penting dan sangat dikenal sehingga secara turun temurun namanya diabadikan didalam bentuk dongeng atau cerita rakyat.[3]. Sudah jelas bahwa bentuk Tulungagung Selatan pernah dihuni oleh manusia-manusia purba yang kemungkinan menjadi nenek moyang bangsa-bangsa yang masih hidup sampai sekarang. Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia-manusia yang tinggal di daerah ini merupakan manusia-manusia ke turunan Homo wajakensis. Bangsa Indonesia sekarang (termasuk penduduk kota Tulungagung) adalah bangsa-bangsa yang nenek moyangnya berasal dari daerah Yunan didaerah Cina Selatan sebelum pindah ke Indonesia mereka telah lama tinggal di daerah Indonesia. Sejak ± tahun 2000 SM barulah mereka berpindah ke Indonesia. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ± tahun 500 SM.

Bangsa ini di Indonesia kemudian menyebar keberbagai kepulauan di tanah air kita yang berjauhan letaknya. Akibatnya terjadi perbedaan-perbedaan adat kebiasaannya, kebudayaan dan bahasanya. Sebab itu lambang negara yang ada semboyannya “Bhineka Tunggal Ika” tepat sekali untuk menggambarkan keserbaragaman bangsa kita yang sebenarnya berasal dari nenek moyang yang sama itu.

Suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia ini dibedakan menjadi dua golongan; yaitu suku bangsa Melayu tua (Proto Melayu) dan suku bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu). Termasuk suku bangsa Melayu Tua antara lain suku Batak Karo (sebagian), Dayak, Toraja. Sedang yang termasuk suku bangsa Melayu Muda antara lain suku bangsa Jawa, Madura, Bali, Banjar, dan sebagainya.

Bagaimana persebaran dan perkembangannya lebih lanjut nenek moyang kita itu di daerah Tulungagung ini, kita tidak menemukan keterangan-keterangan sedikitpun. Tetapi jelas sisa-sisa kebudayaan rohaninya, terutama mengenai kepercayaannya, sampai sekarang masih dapat kita lihat hidup kuat di daerah ini. Sisa-sisa kepercayaan itu ialah yang disebut dinamisme dan animisme.

Dinanisme yaitu kepercayaan mengenai adanya kekuatan gaib serta pengaruhnya didalam kehidupan masyarakat, sedang Animisme yaitu kepercayaan terhadap roh-roh dan peranannya didalam kehidupan masyarakat.

Sisa-sisa kepercayaan semacam ini tidak hanya terdapat di daerah Tulungagung saja, tetapi boleh dikatakan masih hidup kuat didalam masyarakat Indonesia pada umumnya, walaupun wujudnya sudah merupakan gabungan dengan kebudayaan / kepercayaan baru yang pernah berpengaruh pada masyarakat Indonesia disepanjang sejarahnya.

Contoh-contoh yang jelas mengenai sisa-sisa kepercayaan kuno semacam itu yang masih hidup di daerah Tulungagung, yaitu kepercayaan akan kekuatan gaib yang terdapat pada pusaka yang berwujud tombak. Tombak ini dikenal dengan nama “Kyai Upas”. Kini pusaka itu disimpan dan dipelihara dibekas rumah pensiunan salah seorang Bupati Tulungagung, yaitu di desa Kepatihan.

Pusaka ini menurut kepercayaan masyarakat Tulungagung umunya dapat menimbulkan malapetaka, banjir, wabah penyakit, dan sebagainya, bila dipindahkan dari Tulungagung atau kurang diperhatikan pemeliharaannya.

Kepercayaan terhadap pusaka tersebut tidak lain berkisar pada kesaktian yang ada pada benda itu. Kesaktian semacam ini didalam Ilmu Kebudayaan disebut “MANA”.

Suatu benda yang ber “MANA” besar, dapat mempunyai kekuatan luar biasa, yang dapat menghindarkan mala petaka yang akan menimpa yang memiliki atau tempat benda itu disimpan.

Didalam Dinanisme ada anggapan bahwa semua benda, semua bagian anggota badan mengandung MANA. Berkurangnya bagian-bagian benda atau bagian badan tertentu, menyebabkan berkurangnya MANA benda atau badan itu sendiri. Dan bila bagian benda / badan yang berkurangnya itu kemudian berpindah ke benda / badan lain, maka benda lain itu memperoleh tambahan MANA. Sehubungan dengan kepercayaan inilah timbul black magic (sihir hitam) seperti jengges, tenung, dan sebagainya, yang menggunakan bagian-bagian benda / badan yang akan menjadi sasaran sihir tersebut sebagai alat untuk menjalankan tujuan-tujuan jahatnya. Disamping itu didalam soal sihir ini tercakup pula unsur-unsur animisme, karena menurut kepercayaan sihir itu dijalankan pula dengan bantuan roh-roh halus.

Kepercayaan mengenai sihir ini di daerah Tulungagung juga masih hidup kuat. Bagi warga kota Tulungagung daerah yang dikenal sebagai daerah tukang sihir antaranya ialah daerah Wajak.[4]

Juga erat hubungannya dengan animisme ialah kepercayaan di Tulungagung yang mempercayai bahwa kota ini dijaga oleh roh halus yang dikenal dengan sebutan “MBAH DJIGANGDJOJO” dan MBAH TJLUNTANGDJOJO”.[5]

Hal-hal yang kami ungkapkan di atas tidak lain adalah bukti-bukti adanya sisa-sisa kebudayaan kuno yang masih hidup di daerah ini sebagai daerah yang mempunyai sejarah sepanjang masa.

Next

home


Tinggalkan komentar

Kategori